PIN RENCONG


Tidak kau tidak boleh berlalu,
Melewati sejuta jalan berbatu,
Kata mereka dunia itu entah dimana,
Yang ada hanya mayat belaka,
Tertulis dalam setiap lembaran berita...


Kota itu, dimana kaki mu hendak berpijak,
Menggeser puing-puing badan yang tak lagi bernafas,
Menghantarkan sedikit harapan bagi jiwa yang tersisa,
Pada tenda-tenda yang tak kunjung hening dari suara tangis,
Pada kantong pundi 2,3 meter yang menjadi penutup bangkai,
Kau ada disana untuk menjalankan niat tulus mu...

Gelombang itu, yang menelan sejuta harapan,
Tak akan kubiarkan menghapus kegilaan ku akan dirimu,
Kekayaan ku akan cinta tulus,
Yang kubiarkan pergi bersama bayang kakimu…..

Hendak kau langkahkan kaki kanan terhenyak di kaki kiri mu,
Tersungkur aku saat melihat mu menjadi titik di kejauhan,
Aku takut kau kembali hanya dalam bentuk bayangan...

“Unda, ingin oleh-oleh apa?”
Nada mu setengah berteriak di kejauhan sana,
Dekat ditelingaku dalam bentuk genggaman,
Menjerit aku sampai ke nadi tak keluar dari mulut ku,
Yang kuingin kan kau pulang sayang…

Bukan badai itu yang menyeret mu kedasar lautan,
Tubuhmu yang ringkih dan sudah terlalu lemah,
Tenaga mu yang memulai hari tanpa kecupanku,
Kau berikan pada bau busuk yang terduduk di tanah,
Kau ada disana sampai Darusallam tenang..

Tak kau tahu kegelisahanku?
Mengapa kau tak kunjung pulang?
Sisi ranjang ku sudah mendingin,
Tubuh ini sangat haus akan sentuhanmu,
Doa ini merindukan kau didepan sebagai imam…

Yah aku tau, pembawa berita itu bukan pendiam,
Lantang perkataannya seolah menelanjangi harapanku,
Gerak bibirnya mengacaukan jalan berfikirku,
Bahasa tubuhnya mengoyak arti…
Kau tak kan pernah lagi ada disini?

Aku mengalah ama…
Aku yang mengalah…
Aku yang berangkat dari semua impian itu,
Aku yang beranjak dari semua harapan itu,
Aku yang sampai kemari dengan tertatih perih,
Karena kebahagian ku tercecer selama perjalanan,
Hingga aku rebah tiba di sampingmu...

Tapi mengapa kau hanya diam?
Jawab aku ama, jawab unda mu...
Kenapa kau begitu tenang?

Apa ini? Mengapa sekeliling mu semerbak kamboja?
Mengapa bukan tubuh indah ini yang menyelimuti mu tidur?
Rumput hijau ini, tanah keras ini?
Mengapa kau lebih memilihnya…
Apakah ranjang indah kita tak lagi nyaman?

Aku ingat ama….
Kau menepati janji mu,
Pembawa berita yang menyampaikannya hingga ke telapak tanganku,
Karna tiada raga mu yang tiba,
Hanya sebuah kancing yang tersemat,
Merekatkan dada dan jilbabku dalam perhiasan,
Ketika ku tersadar perkataanku, “Belikan Unda oleh-oleh Pin Rencong yah Ama”




Dalam bahasa Aceh (Takengon) :
Ibu / Istri = Ine = Bunda = “Unda”
Ayah / Suami = Ama

1 komentar:

Anonim mengatakan...

puisi kmu lucu yg kta2 trakhir itu loh,tpi bgus, mengharukan, menyentuh,mengingat msa lalu itu yg begitu indah, yg kmu trus mlarang aku untuk pergi k sna, ama jgn pergi,klo ama pergi ama ga syg unda, inget kta2 itu? yg terucap lwat bibir kmu yg indah, aku yg slalu mengalah buat unda, rsanya mulut ini pngen triak, tpi apa guna, kmu yg lbih baik memilihnya. yah itulah mkanya aku diam sprti org bodoh yg d injak2, yah ini memang takdir yg hrus kta jlnin, tpi dlm hti kecilku.............

Copyright © 2008 - b@nGkuaNg - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template